Bagi bangsa Indonesia,
sosok Bung Hatta sudah tidak asing lagi. Sosok proklamator ini akan
selalu dikenang karena kiprah dan perjuangannya yang tak kenal menyerah
untuk bangsa ini.
Bung Hatta adalah satu
dari sekian ribu pahlawan nasional yang pernah memperjuangkan
kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Sosoknya telah menjadi begitu dekat
dengan hati rakyat Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang begitu
merakyat. Perannya yang cukup besar dalam perjuangan bangsa ini
menjadikannya disebut sebagai salah seorang bapak bangsa Indonesia.
Banyak
buku dan catatan sejarah yang menorehkan perjuangan Bung Hatta di masa
penjajahan Kolonial Belanda sampai Masa Kemerdekaan RI. Sosoknya yang
cerdas, sederhana, dan religius banyak dikagumi dan diteladani rakyat
Indonesia dari generasi ke generasi. Bahkan, musisi ternama Iwan Fals
mengarang sebuah lagu yang menggambarkan sosok Sang Proklamator
tersebut.
Bung Hatta dilahirkan di Kota
Bukittinggi, di tengah dataran tinggi Agam, Sumatera Barat 12 Agustus
1902 dari pasangan keluarga H. Mohammad Djamil (Ayah) dan Siti Saleha
(Ibu). Sewaktu kecilnya, Mohammad Hatta sering dipanggil Mohammad Athar,
dan ketika masa perjuangan kemerdekaan, beliau lebih popular dengan
panggilan Bung Hatta, yang pada saat itu bermakna "saudara
seperjuangan".
Bung Hatta menikah di usia 42
tahun dengan Rahmi Rachim yang kemudian dikaruniai tiga puteri, yakni
Meutia Hatta, Gemala Hatta, dan Halida Hatta. Bung Hatta wafat pada 14
Maret 1980 dan dimakamkan di Pemakaman Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Bung
Hatta menyelesaikan pendidikan dasar (SR) dan sekolah menengah (MULO)
di Padang, kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Dagang
Prins Hendrik School dan tamat 1921. Tamat dari Sekolah Tinggi Dagang
Prins Hendrik School, Bung Hatta melanjutkan pendidikan di Rotterdamse
Handelschogenschool. Di sinilah Bung Hatta mulai berkecimpung dalam
organisasi pemuda yang saat itu diketuai oleh Dr. Soetomo (Bung Tomo).
Kembali
ke Indonesia, Bung Hatta bergabung dengan organisasi Club Pendidikan
Nasional Indonesia (PNI) yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik
rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Karena kegigihan
dan perjuangannya di PNI itulah, Belanda menangkap Bung Hatta, bersama
pimpinan PNI lainnya, salah satunya adalah Sutan Sjahrir. Mereka pun
diasingkan ke Boven Digoel. Pada Januari 1935, Hatta dan kawan-kawan
tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua).
Dalam
pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat
kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah
dan membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi buku-buku yang
khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Hatta pun mempunyai cukup
banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di
pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat.
Pada
Desember 1935, penguasa setempat memberitahukan bahwa tempat pembuangan
Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira. Pada Januari 1936
keduanya pun berangkat ke tempat pembuangan yang baru, Banda Neira. Di
tempat pembuangan baru, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan
penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam
bidang sejarah, tata buku, politik, dan lain-lain. Pada 3 Pebruari 1942,
Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada 9 Maret 1942, Pemrintah
Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada 22 Maret 1942 Hatta dan
Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Rumah Kelahiran Bung Hatta
Satu
lagi jejak wisata sejarah Bung Hatta yang, kiranya, perlu diketahui
generasi sekarang, yakni Rumah Kelahiran Bung Hatta. Rumah kelahiran
Bung Hatta terletak di Jalan Soekarno-Hatta No. 37, Bukittinggi,
Sumatera Barat. Rumah ini adalah tempat Hatta dilahirkan dan
menghabiskan masa kecilnya sampai berusia 11 tahun.
Rumah
yang didirikan sekitar tahun 1860-an dan menggunakan struktur kayu ini
terdiri dari bangunan utama, paviliun, lumbung padi, dapur, kandang
kuda, serta kolam ikan. Bangunan utama berfungsi untuk menerima tamu,
ruang makan keluarga, dan kamar ibu, paman, dan kakek Hatta. Sedangkan
paviliun berfungsi sebagai kamar tidur Hatta.
Rumah
asli tempat Bung Hatta dilahirkan, sebenarnya, sudah runtuh di tahun
1960-an, tetapi atas gagasan Ketua Yayasan Pendidikan Bung Hatta, maka
rumah tersebut dibangun ulang sebagai upaya mengenang dan memperoleh
gambaran masa kecil sang proklamator di kota Bukittinggi. Penelitian
pembangunan ulang dimulai dari November 1994 dan dimulai pada 15 Januari
1995. Rumah ini diresmikan pada 12 Agustus 1995, bertepatan dengan hari
lahir Bung Hatta sekaligus dalam rangka merayakan 50 tahun Indonesia
merdeka. Rumah ini dibangun mengikuti bentuk aslinya. Sebagian besar
perabotan di dalam rumah pun masih asli dari peninggalan masa kecil Bung
Hatta, begitu pun tata letaknya yang masih dipertahankan di tempat
asalnya.
Bung Hatta tinggal di rumah ini dari
tahun 1902-1913, waktu yang meskipun relatif singkat namun memberikan
kenangan mendalam dan pengaruh yang besar dalam pembentukan karakter
seorang Bung Hatta. Disiplin kerja, ketepatan waktu, kesederhanaan dan
kasih sayang yang dilihat dan dicontoh Bung Hatta adalah sosok sang
Kakek, H. Marah atau Pak Gaek, bermula dari rumah ini. Pak Gaek yang
merupakan kontraktor pos partikelir bekerja dengan ketelitian, disiplin,
organisasi yang baik, dan tepat waktu dalam menyiapkan segala kebutuhan
pengiriman memberikan kesan yang berbekas di pikiran Bung Hatta.
Sesuai
adat Minang, Hatta remaja sudah harus tinggal mandiri di kamar yang
terpisah dengan rumah induk dan menginap di surau atau langgar atau
mesjid kecil berjarak beberapa kilometer dari rumah ini untuk menuntut
ilmu agama dan adat. Didikan inilah yang membawa kesederhanaan dan sikap
jujur pada diri Bung Hatta. ***
0 komentar:
Posting Komentar