Translate

Minggu, 28 Oktober 2012

Sejarah Bung Hatta

Bagi bangsa Indonesia, sosok Bung Hatta sudah tidak asing lagi. Sosok proklamator ini akan selalu dikenang karena kiprah dan perjuangannya yang tak kenal menyerah untuk bangsa ini.

Bung Hatta adalah satu dari sekian ribu pahlawan nasional yang pernah memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Sosoknya telah menjadi begitu dekat dengan hati rakyat Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang begitu merakyat. Perannya yang cukup besar dalam perjuangan bangsa ini menjadikannya disebut sebagai salah seorang bapak bangsa Indonesia.

Banyak buku dan catatan sejarah yang menorehkan perjuangan Bung Hatta di masa penjajahan Kolonial Belanda sampai Masa Kemerdekaan RI. Sosoknya yang cerdas, sederhana, dan religius banyak dikagumi dan diteladani rakyat Indonesia dari generasi ke generasi. Bahkan, musisi ternama Iwan Fals mengarang sebuah lagu yang menggambarkan sosok Sang Proklamator tersebut.

Bung Hatta dilahirkan di Kota Bukittinggi, di tengah dataran tinggi Agam, Sumatera Barat 12 Agustus 1902 dari pasangan keluarga H. Mohammad Djamil (Ayah) dan Siti Saleha (Ibu). Sewaktu kecilnya, Mohammad Hatta sering dipanggil Mohammad Athar, dan ketika masa perjuangan kemerdekaan, beliau lebih popular dengan panggilan Bung Hatta, yang pada saat itu bermakna "saudara seperjuangan".

Bung Hatta menikah di usia 42 tahun dengan Rahmi Rachim yang kemudian dikaruniai tiga puteri, yakni Meutia Hatta, Gemala Hatta, dan Halida Hatta. Bung Hatta wafat pada 14 Maret 1980 dan dimakamkan di Pemakaman Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Bung Hatta menyelesaikan pendidikan dasar (SR) dan sekolah menengah (MULO) di Padang, kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School dan tamat 1921. Tamat dari Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School, Bung Hatta melanjutkan pendidikan di Rotterdamse Handelschogenschool. Di sinilah Bung Hatta mulai berkecimpung dalam organisasi pemuda yang saat itu diketuai oleh Dr. Soetomo (Bung Tomo).

Kembali ke Indonesia, Bung Hatta bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Karena kegigihan dan perjuangannya di PNI itulah, Belanda menangkap Bung Hatta, bersama pimpinan PNI lainnya, salah satunya adalah Sutan Sjahrir. Mereka pun diasingkan ke Boven Digoel. Pada Januari 1935, Hatta dan kawan-kawan tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua).

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi buku-buku yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Hatta pun mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat.

Pada Desember 1935, penguasa setempat memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira. Pada Januari 1936 keduanya pun berangkat ke tempat pembuangan yang baru, Banda Neira. Di tempat pembuangan baru, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tata buku, politik, dan lain-lain. Pada 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada 9 Maret 1942, Pemrintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Rumah Kelahiran Bung Hatta
Satu lagi jejak wisata sejarah Bung Hatta yang, kiranya, perlu diketahui generasi sekarang, yakni Rumah Kelahiran Bung Hatta. Rumah kelahiran Bung Hatta terletak di Jalan Soekarno-Hatta No. 37, Bukittinggi, Sumatera Barat. Rumah ini adalah tempat Hatta dilahirkan dan menghabiskan masa kecilnya sampai berusia 11 tahun.

Rumah yang didirikan sekitar tahun 1860-an dan menggunakan struktur kayu ini terdiri dari bangunan utama, paviliun, lumbung padi, dapur, kandang kuda, serta kolam ikan. Bangunan utama berfungsi untuk menerima tamu, ruang makan keluarga, dan kamar ibu, paman, dan kakek Hatta. Sedangkan paviliun berfungsi sebagai kamar tidur Hatta.

Rumah asli tempat Bung Hatta dilahirkan, sebenarnya, sudah runtuh di tahun 1960-an, tetapi atas gagasan Ketua Yayasan Pendidikan Bung Hatta, maka rumah tersebut dibangun ulang sebagai upaya mengenang dan memperoleh gambaran masa kecil sang proklamator di kota Bukittinggi. Penelitian pembangunan ulang dimulai dari November 1994 dan dimulai pada 15 Januari 1995. Rumah ini diresmikan pada 12 Agustus 1995, bertepatan dengan hari lahir Bung Hatta sekaligus dalam rangka merayakan 50 tahun Indonesia merdeka. Rumah ini dibangun mengikuti bentuk aslinya. Sebagian besar perabotan di dalam rumah pun masih asli dari peninggalan masa kecil Bung Hatta, begitu pun tata letaknya yang masih dipertahankan di tempat asalnya.

Bung Hatta tinggal di rumah ini dari tahun 1902-1913, waktu yang meskipun relatif singkat namun memberikan kenangan mendalam dan pengaruh yang besar dalam pembentukan karakter seorang Bung Hatta. Disiplin kerja, ketepatan waktu, kesederhanaan dan kasih sayang yang dilihat dan dicontoh Bung Hatta adalah sosok sang Kakek, H. Marah atau Pak Gaek, bermula dari rumah ini. Pak Gaek yang merupakan kontraktor pos partikelir bekerja dengan ketelitian, disiplin, organisasi yang baik, dan tepat waktu dalam menyiapkan segala kebutuhan pengiriman memberikan kesan yang berbekas di pikiran Bung Hatta.

Sesuai adat Minang, Hatta remaja sudah harus tinggal mandiri di kamar yang terpisah dengan rumah induk dan menginap di surau atau langgar atau mesjid kecil berjarak beberapa kilometer dari rumah ini untuk menuntut ilmu agama dan adat. Didikan inilah yang membawa kesederhanaan dan sikap jujur pada diri Bung Hatta. ***
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar:

Posting Komentar

Anshor Wathony. Diberdayakan oleh Blogger.