A.Sejarah Politik dalam Perkembangan Bani Umayyah: Sebuah Pengantar
Sejarah perkembangan Islam selalu menarik untuk dijadikan bahan
kajian. Dengan sejarah, kita dapat mengetahui perkembangan Islam secara
lebih detil dan mendalam. Sejarah juga menceritakan fakta-fakta menarik
yang selalu dijadikan hikmah atas peristiwa, agar kita dapat mengambil
pelajaran dan menjadikan sejarah tersebut sebagai bahan pertimbangan
kita dalam bersikap.
Pendekatan sejarah telah menjadi sebuah perspektif dalam ilmu
politik, yaitu pendekatan behavioralisme atau pattern of political
behavior (Budiardjo, 1993: 17)1. Sejarah member analisis tentang Sebagai
unit analisis, sejarah telah banyak memberi kontribusi dalam
pengembangan pemikiran politik dan menceritakan pola-pola kecenderungan
dalam perkembangan politik. Sehingga, ketika kita berbicara tentang
politik, kita juga tak dapat melepaskan diri dari sejarah yang
melatarbelakanginya.
Dalam diskursus politik Islam, sejarah sangat memberi kontribusi
karena pemikiran-pemikiran politik Islam tak dapat dilepaskan dari
perilaku orang-orang terdahulu. Ketika kita berbicara tentang pemikiran
politik Ibnu Taimiyyah, misalnya, kita tak dapat melepaskan sebuah fakta
bahwa pemikiran politik Islam yang ditelurkannya berkaitan dengan
kondisi sosiologis dan kondisi politik yang terjadi pada era tersebut.
Atau pemikiran Ibnu Khaldun yang selama ini dikenal sebagai ‘Bapak
Sosiologi Islam’, juga tak dapat dilepaskan dari konteks historis dan
sosial-politik pada era tersebut (Ralliby, 1960)2.
Tak hanya itu, model negara yang sekarang banyak menjadi wacana
publik juga tak dapat dilepaskan dari wacana historis. Konstruksi negara
khilafah yang dicita-citakan oleh beberapa harakah Islam banyak
mengambil sampel pada konsep khilafah ketika era Khulafaurrasyidin, Bani
Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyyah. Model kesejahteraan umat dan
keadilan sosial pun sedikit banyaknya berasal dari sejarah umat Islam di
era-era tersebut. Sehingga, sejarah tak dapat dilepaskan begitu saja
dari pokok kajian ilmu politik –terutama politik Islam— agar terjadi
kesinambungan antara sejarah dan masa depan.
Dalam pendekatan behavioralisme, lebih jauh, akan ada sebuah variabel
penting yang tak dapat dipisahkan, yaitu aktor sejarah.
Peristiwa-peristiwa yang tercatat dalam sejarah hanya akan terekam dalam
memori kita ketika ada aktor intelektual –atau aktor utama—yang menjadi
penggerak dalam peristiwa tersebut. Misalnya, ketika kita berbicara
mengenai perang shiffin, kita pasti akan mengingat sebuah peristiwa
penting yang mengubah konstruksi dan konstelasi politik pada masa
tersebut, yaitu peristiwa tahkim3
Harus dicatat, peristiwa tahkim adalah strategi yang sangat efektif
yang berasal dari Amr bin Ash, negosiator ulung dari kalangan Muawiyah.
Peran Amr bin Ash menjadikan sejarah harus berubah dan menempatkan
kemenangan Muawiyah atas Ali. Maka, tak salah jika Thomas Carlyle
mengatakan bahwa “history is story of great men” (sejarah adalah cerita
tentang orang-orang besar)4.
Dalam konteks dinasti Umayyah, aktor juga berperan dominan. Kami
menggunakan pendekatan aktor sejarah ini dengan mengaitkan keberhasilan
pembangunan politik yang dilakukan dengan keberadaan para khalifah yang
berkuasa pada era tersebut. Pendekatan aktor ini penting karena
konstruksi ketatanegaraan pada era tersebut menempatkan kedudukan
Khalifah yang begitu sentralistik serta istana-sentris.
Maka, pendekatan behavioralisme sangat berperan dalam mengupas
persoalan-persoalan penting dalam mengupas sejarah politik dan
pemerintahan Islam di Era Dinasti Umayyah. Dalam hal ini, kami mencoba
untuk mengupas sejarah Dinasti Umayyah yang menjadi aktor utama dalam
sejarah Islam Pasca-Ali.
Dalam hal ini, kami akan memfokuskan diri untuk membahas kontruksi
sosial-politik pada era Umayyah yang berlangsung dari tahun 661 M – 750
M.
B.Garis Besar Sejarah Bani Umayyah
Sejarah Bani Umayyah tak dapat dilepaskan dari sejarah sebelumnya,
yaitu krisis kepemimpinan yang melanda umat Islam pasca-terbunuhnya
Khalifah Utsman bin Affan r.a. Sejarah mencatat bahwa setelah
terbunuhnya khalifah Utsman, bibit konflik mulai muncul. Umat Islam
mulai mengalami konflik internal antara beberapa faksi yang ada, seperti
perang Jamal antara faksi ummum mu’minin Aisyah dan Zubair bin Awwam
r.a. dengan faksi Ali. Konflik juga terjadi pada perang Shiffin antara
Muawiyah dengan Ali.
Menarik untuk dicermati, konflik ini bermuara pada aktivitas
pemberontakan yang berakibat pada terbunuhnya Khalifah Utsman di akhir
kepemimpinannya. Ketika Ali menggantikan Utsman, umat Islam
terfaksionalisasi menjadi beberapa kelompok, seperti kelompok ‘Aisyah
r.a., kelompok Ali, dan kelompok Muawiyah yang pada waktu itu menjadi
gubernur di Syam (Syria dan sekitarnya). Faksionalisasi ini pada
gilirannya melahirkan pergumulan politik yang begitu tajam hingga
beberapa periode khilafah di era Dinasti Umayyah.
Pada perang Shiffin, ada dua golongan yang berseteru akibat krisis
kepemimpinan tersebut, yaitu golongan khalifah Ali dan golongan
Muawiyah. Golongan Muawiyah yang mempertanyakan legitimasi politik dari
Khalifah Ali menyusun kekuatan, ditambah dukungan dari Amr bin Ash yang
menjadi gubernur Mesir. Sementara itu, golongan Ali tidak merespons
gerakan yang dibangun oleh Muawiyah, sehingga kedua belah pihak
sama-sama show of force di Shiffin, tepi Sungai Jordan.
Perang Shiffin ini kemudian melahirkan gagasan untuk bertahkim, yaitu
mengangkat sumpah di hadapan Al-Qur’an dan atas nama Allah Subhanahu wa
Ta’ala bahwa kedua belah pihak akan melepaskan diri dari kekuasaan dan
akan menyerahkan kepemimpinan pada umat. Pada saat itu, golongan
khalifah Ali radhiyallahu ‘anhu menunjuk Abu Musa Al-Asy’ari, seorang
dari Bani Abdusshams dan muhajirin yang termasuk golongan awal masuk
Islam serta terlibat dalam hijrah ke Abissinia (Sirah Ibnu Ishaq: 219)5.
Sementara itu, golongan Muawiyah menunjuk Amr bin Ash sebagai
negosiator. Amr bin Ash sendiri juga adalah muhajirin dan merupakan
panglima umat Islam ketika tentara muslimin menaklukkan Mesir di era
Khalifah Umar bin Khattab.
Peristiwa tahkim tentu saja sangat diingat karena mengubah sejarah
pada waktu itu. Golongan Ali menerima usulan dan segera melepaskan
kepemimpinan. Akan tetapi, Amr bin Ash ternyata menyatakan melepaskan
kepemimpinan dan ternyata, di luar dugaan, menyatakan bahwa Khalifah
yang sah adalah Muawiyah. Karena hal ini adalah sumpah6, maka sebagai
konsesi Khalifah Ali membagi wilayah menjadi dua: Wilayah Hijaz, Yaman,
dan Nejd (Semenanjung Arabia) menjadi kekuasaan Ali, sementara Syam dan
Mesir di bawah Muawiyah.
Ternyata, hasil konsesi tersebut menimbulkan implikasi lanjutan
berupa terfragmentasinya kekuatan Ali menjadi tiga: Syiah, Khawarij, dan
kelompok yang setia dengan khalifah Islam. Dua kelompok pertama
kemudian bertransformasi menjadi faksi teologis dan tidak lagi
berafiliasi kepada kekuatan umat yang utama pada waktu itu. Pada
perkembangannya, kelompok Khawarij melakukan tindakan takfir kepada tiga
tokoh umat yang berkonflik pada waktu itu: Ali, Muawiyah, dan Amr bin
Al-Ash. Kelompok ini akhirnya mengutus pengikutnya untuk membunuh ketiga
orang tersebut, namun hanya Ali yang berhasil dibunuh oleh Abdurrahman
bin Muljam di Kufah, selepas Shalat Subuh.
Meninggalnya Ali kemudian berimplikasi pada vacuum of power di tubuh
umat Islam. Orang-orang Hijaz mengangkat bai’at kepada Hasan bin Ali,
tetapi Hasan menolak bai’at dan membuat perjanjian dengan Muawiyah. Isi
perjanjian tersebut salah satunya adalah mempersilakan Muawiyah untuk
menjadi khalifah, tetapi dengan catatan Muawiyah menghentikan sikapnya
untuk mencaci-maki Ali di mimbar Jum’at (Manshur, 2003)7.
Sebagai implikasinya, kedudukan Muawiyah bertambah kuat hingga
akhirnya ia berhasil mengonsolidasi kekuatannya dengan mendirikan
Dinasti Umayyah. Fase ini menjadi era baru bagi pergantian kepemimpinan
di tubuh umat Islam ada waktu itu. Berikut deskripsi kepemimpinan
khalifah di era Bani Umayyah.
a.Khalifah Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M)
Muawiyah ibn Abi Sufyan adalah pendiri Daulah Bani Umayyah dan
menjabat sebagai Khalifah pertama. Beliau adalah putera dari Abu Sufyan
bin Harb, seorang pemuka suku Quraisy yang masuk Islam pasca-fathul
makkah. Muawiyah sebagai putera Abu Sufyan kemudian terlibat dalam
serangkaian aktivitas penaklukkan di era Khalifah Abu Bakar dan Umar,
serta menjadi gubernur di Syam pada era Khalifah Utsman. Pada era
tersebut, beliau berkedudukan tetap di Damaskus (sekarang ibukota
Suriah).
Kebijakan pertama yang ia lakukan adalah memindahkan ibu kota dari
Madinah al Munawarah ke kota Damaskus dalam wilayah Suriah. Pada masa
pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan wilayah kekuasaan Islam yang
terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Disamping itu., kebijakan
yang lain adalah dengan mengatur birokrasi baru yang berciri-khas Syam,
dengan strata Arab dan Mawali (ajam atau non-Arab).
Secara kenegaraan, Muawiyah mengubah bentuk pemerintahan dari model
Khulafa’ur Rasyidin yang menggunakan konsep Syura pada mekanisme
pergantian kepemimpinan menjadi bentuk kerajaan dengan “pewarisan
kekuasaan” pada puteranya. Muawiyah adalah seorang politisi yang cukup
paham strategi. Ia menerapkan beberapa kebijakan pada lawan politiknya,
seperti mengurangi hak politik Hasan bin Ali serta mempersiapkan
puteranya untuk menggantikannya agar kedudukan politiknya kuat.
Namun, dalam perspektif lain, Muawiyah memiliki kontribusi besar
dalam perubahan struktur sosial dan politik umat pada waktu itu.
Muawiyah memisahkan Qadhi dan Ulama, sehingga posisi qadhi atau hakim
menjadi sebuah jabatan profesi. Beliau juga memodernisasi militer
sehingga lebih professional dalam menjalankan tugas, kendati sering
digunakan untuk menghadapi lawan-lawan politiknya.
Muawiyah juga memiliki prestasi lain di bidang politik luar negeri.
Penyebaran Islam ke luar yang telah dimulai sejak era Umar bin Khattab
diteruskan oleh Muawiyah dengan mengirim pasukan ke Afrika Utara
(wilayah Maroko sampai Tunisia) untuk menghadapi pasukan Barbar yang
menguasai daerah tersebut dan sering mengancam wilayah Mesir. Sebagai
respons, gubernur Mesir, Amr bin Ash menunjuk panglima Uqbah untuk
menghadapi kekuatan Barbar dan akhirnya berhasil menguasai Qairawan di
Maroko sampai ke sebelah selatan Tunisia (Manshur, 2003)8.
Muawiyah meninggal Dunia dalam usia 80 tahun dan menunjuk Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota.
b.Yazid ibn Muawiyah (681-683 M)
Khalifah Yazid merupakan putera dari Muawiyah. Beliau lahir pada
tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah mencalonkan anaknya, Yazid,
untuk menggantikan dirinya. Yazid menjabat sebagai Khalifah dalam usia
34 tahunpada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh di
Madinah tidak mau mengangkat bai’at kepadanya. Khalifah Yazid kemudian
mengirim surat kepada Gubernur Madinah dan memintanya untuk mengangkat
bai’at kepada Yazid beserta warga hijaz secara keseluruhan. Dengan cara
ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah
ibn Zubair.
Bersamaan dengan itu, pengikut Ali melakukan rekonsolidasi kekuatan.
Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun
680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan pengikut Ali yang
ada di sekitar Kufah dan mengangkat Husein sebagai Khalifah. Akan
tetapi, rombongan Husein yang tidak didukung oleh milisi atau tentara
kemudian dihadang oleh pasukan Khalifah Yazid.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbala, sebuah daerah yang
sekarang masuk ke wilayah Irak secara territorial. Tentara Husein yang
tidak bersenjata lengkap kalah dan Husein sendiri mati terbunuh.
Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di
Karbala.
Pasca-kematian Hussein, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubair
sebagai khalifah. Abdullah bin Zubair adalah putera dari Zubeir bin
Awwam, seorang sahabat nabi yang juga adalah golongan awal masuk Islam
(Sirah Ibnu Ishaq: 171)9. Ibunya adalah Asma’ binti Abu Bakar, puteri
Abu Bakar Ash-Shiddiq yang berkontribusi penuh sebagai penjamin rahasia
dan pemberi bekal kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Was Salam ketika
berhijrah. Posisi ayahnya sangat dihormati di kalangan muhajirin, dan
ayahnya juga bersama Aisyah terlibat pada perang Jamal. Posisi Abdullah
bin Zubair menguat tanpa bisa dicegah oleh Khalifah Yazid sebelum
kematiannya.
Khalifah Yazid meninggal pada tahun 64 H/683 M dalam usia 38 tahun dan masa pemerintahannya ialah tiga tahun dan enam bulan.
c.Muawiyah ibn Yazid (683-684 M)
Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai Khalifah pada tahun 683-684 M
dalam usia 23 tahun. Berbeda dengan ayahnya, ia bukan seseorang yang
berwatak keras atau menyukai peperangan. Tak banyak literatur yang
membahas tentang Khalifah ini secara lengkap. Ia memerintah hanya selama
enam bulan, karena kelemahan posisinya secara politis, dan menyerahkan
tampuk kepemimpinan pada Marwan bin Hakam.
d.Marwan ibn Al-Hakam (684-685 M)
Sebelumnya, Marwan bin Hakam adalah penasehat Khalifah Utsman dan
turut berada di barisan Muawiyah ketika awal-awal dinasti Umayyah dan
konflik dengaan Ali. Masa pemerinthannya tidak meninggalkan jejak yang
penting bagi perkembangan sejarah Islam.
Hal menarik yang patut dicatat adalah menguatnya pengaruh Abdullah
bin Zubair bin Awwam di daerah Hijaz, Nejd, dan Yaman sehingga ia
berhasil mengonsolidasi kekuatan pada era tersebut. Abdullah bin Zubeir
telah bertransformasi menjadi kekuatan penekan (pressure group) yang
sangat efektif; Ia mengorganisasi kekuatan militer di Mekkah dan Madinah
serta menjadi khalifah setelah dibai’at oleh orang-orang Hijaz.
Khalifah Marwan bin Hakam masih belum dapat mencegah kekuatan
Abdullah bin Zubeir secara penuh. Khalifah Marwan wafat dalam usia 63
tahun dan masa pemerintahannya selama 9 bulan 18 hari.
e.Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M)
Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai Khalifah setelah kematian
ayahnya, pada tahun 685 M. Dibawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan
Umayyah mencapai kekuasaan. Hal yang terlebih dulu dilakukan oleh
Khalifah Abdul Malik adalah menyatukan kembali kekuatan politik Bani
Umayyah yang sempat terpecah di era sebelumnya. Khalifah Abdul Malik
kemudian mengorganisasi kekuata militer untuk menghadapi kelompok
Abdullah bin Zubair yang menguasai Hijaz.
Pada akhirnya, kekuatan Abdullah bin Zubair terdesak. Pasukan Bani
Umayyah dapat menguasai kota Mekkah, benteng pertahanan terakhir dari
Abdullah bin Zubair dan membunuh Abdullah bin Zubair. Dikuasainya Hijaz
ini kemudian mengakhiri pemberontakan orang-orang Hijaz dan secara
otomatis menyatukan kembali kekuatan Bani Umayyah pada satu
kepemimpinan.
Khalifah Abdul Malik sebagai Khalifah yang tegas, perkasa dan
negarawan yang cakap dan berhasil memulihkan kembali kesatuan dunia
Islam. Ia memiliki kontribusi penting dalam tata moneter dunia Islam,
antara lain diperkenalkannya Dinar dan Dirham yang dicetak oleh
pemerintah pada waktu itu. Tata administrasi dan birokrasi pemerintahan
juga dipertegas, antara lain dengan dibentuknya berbagai lembaga
pemerintahan yang kemudian mengatur urusan-urusan umat Islam.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga memiliki kontribus dalam
penyebaran Islam. Politik Luar Negeri yang berbasis pada penyebaran
Agama Islam ke luar daerah juga menuai hasil yang cukup signifikan,
antara lain dengan berhasil dikuasainya Balkh, Bukhara, Khawarizm,
Farghana, dan Samarkand di Asia Kecil yang sekarang masuk ke teritori
negara Uzbekistan serta Kazakhstan.
Pasukannya juga meneruskan penyebaran Islam ke TImur, antara lain ke
Balokhistan (Khurasan sebelah Timur), Sind, dan Punjab (sekarang
Pakistan). Prestasi lain, Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga
merencanakan penyebaran ke Eropa dengan penunjukan Musa bin Nushair
sebagai gubernur Afrika Utara dan menyiapkan armada untuk menyeberang ke
Andalusia, menghadapi kekaisaran Gothik yang berada di daerah tersebut.
Namun, rencananya belum berhasil direalisasikan.
Beliau wafat pada tahun 705 M dalam usia yang ke-60 tahun.
f.Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)
Pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik, telah terjadi kemapanan
politik yang mengakhiri periode transisi. Gerakan-gerakan oposisi dan
kelompok penekan telah dipadamkan sehingga kekuatan Khalifah Walid cukup
kuat. Dengan adanya kemapanan ini, kebijakan Khalifah Walid lebih
berkonsentrasi pada konsolidasi politik dan pelaksanaan politik luar
negeri dengan menyebarkan Islam ke daerah lain dengan kekuatan dan
sumber daya yang dimiliki.
Pada era ini, tekanan dari penduduk Hijaz telah mereda dan tidak lagi
mengancam eksistensi kekuasaan khalifah. Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi
diberi kebebasan untuk memerintah daerah Irak. Kebijakan khalifah Walid
lebih berorientasi pada ekspansi dan pengembangan sayap dakwah Islam ke
wilayah-wilayah lain. Khalifah Al-Walid memiliki bangunan sumber daya
yang cukup kuat untuk melaksanakan politik luar negerinya tersebut.
Pada masa ini, penyebaran Islam mengalami momentumnya tersendiri/
tercatat suatu peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah kekuasaan dari
Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun
711 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai ke Andalusia (Spanyol)
dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziad. Perjuangan panglima Thariq
bin Ziad mencapai kemenangan, sehingga dapat menguasai kota Cordoba,
Granada dan Toledo yang merupakan wilayah kekuasaan Roderik, penguasa
Gothik yang memerintah wilayah Spanyol dan Portugal.
Khalifah Walid bin Abdul Malik juga berhasil menyebarkan Islam sampai
ke India di bawah kepemimpinan Muhammad bin Qasim. Kemenangan pasukan
Islam di Punjab kemudian memberi peluang untuk masuk ke India yang
sangat kental kekuatan Hindunya. Muhammad bin Qasim kemudian berhasil
memasuki India hingga menguasai Delhi yang kelak menjadi raison d’etre
kekuatan Islam di India.
Walid bin Abdul Malik menjadi seorang Khalifah yang dikenal luas oleh
publik internasional sebagai pemimpin yang disegani. Khalifah Walid
berhasil mendesak kekuatan kaum Gothik di Spanyol serta mulai
menyebarkan Islam ke segenap penjuru Asia. Hal ini tak lepas dari
struktur militer yang professional yang telah dibangun oleh pemerintah
pada waktu itu. Militansi kekuatan militer cukup tinggi, terlihat dari
berhasilnya pasukan Thariq bin Ziyad dalam menaklukkan Spanyol, padahal
kekuatan Gothik masih begitu kuat dan pasukan yang dikirim tidak terlalu
besar kuantitasnya.
Selain melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Walid juga
melakukan pembangunan internal selama masa pemerintahannya untuk
kemakmuran rakyat. Khalifah Walid ibn Malik meninggalkan nama yang
sangat harum dalam sejarah Daulah Bani Umayyah.
g.Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M)
Sulaiman Ibn Abdul Malik menjadi Khalifah pada usia 42 tahun. Masa
pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Menjelang saat
terakhir pemerintahannya beliau memanggil Gubernur wilayah Hijaz, yaitu
Umar bin Abdul Aziz, yang kemudian diangkat menjadi penasehatnya. Umar
bin Abdul ‘Aziz pada dasarnya adalah seorang ulama. Hal inilah yang
menyebabkan posisinya cukup kuat di kalangan ulama Mekkah dan Madinah,
di samping faktor nasab beliau yang juga merupakan cucu dari Khalifah
Umar bin Khattab.
Pada era pemerintahannya, penaklukan Romawi menemui kendala.
Satu-satunya jasa yang dapat dikenangnya dari masa pemerintahannya ialah
menyelesaikan dan menyiapkan pembangunan Jamiul Umawi yang terkenal
megah dan agung di Damaskus.
h.Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M)
Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah pada usia 37 tahun . Ia
terkenal adil dan sederhana. Hepi Andi Basthoni dalam sebuah bukunya
bahkan membandingkan figur keulamaannya dengan kepemimpinan yang
merupakan warisan dari kakek beliau, Umar bin Khattab10.
Beliau adalah cucu dari Khalifah Marwan bin Hakam (dari Bapak beliau,
Abdul Aziz bin Marwan) dan sepupu dari Sulaiman bin Abdul Malik.
Berbeda dari khalifah sebelumnya yang memiliki karakter politisi,
karakter yang melekat pada diri beliau adalah karakter keulamaan. Hal
ini yang menyebabkan kezuhudan beliau selama memerintah dengan
kesederhanaan yang melekat pada kepribadian beliau. Masa pemerintahan
beliau sangat singkat, hanya dalam dua tahun.
Akan tetapi, prestasi beliau dalam dua tahun pemerintahan tersebut
sangat berarti dalam kepemimpinan Bani Umayyah. Beliau mengembalikan
corak pemerintahan seperti pada zaman khulafaur rasyidin. Pemerintahan
Khalifah Umar bin Abdul Aziz meninggalkan semua kemegahan Dunia yang
selalu ditunjukkan oleh Bani Umayyah.
Sebuah cerita yang dilukiskan oleh Hepi Andi pada bukunya cukup untuk
menyadarkan kita akan pentingnya kesederhanaan. Pada cerita yang
diambil pada sebuah atsar tersebut, terlihat bahwa Umar bin Abdul Aziz
tidak ingin menggunakan lampu yang dibiayai oleh Baitul Mal untuk
keperluan pribadinya. Beliau mematikan lampu ketika anak beliau datang
ke kantor pemerintahan. Kesederhanaan beliau disinggung dalam berbagai
kitab Tarikh dan menjadi teladan bagi pemimpin dunia.
Sehingga, wajar jika banyak yang menyebut beliau sebagai Umar II,
yang memang mewarisi sikap sederhana dari Khalifah Umar bin Khattab.
Ketika dinobatkan sebagai Khalifah, beliau segera menegaskan sebuah
komitmen dan frame kebijakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan
pembangunan negeri yang berada dalam naungan Islam lebih baik daripada
menambah perluasan ke wilayah lain. Ini berarti bahwa prioritas utama
adalah pembangunan dalam negeri dan konsolidasi serta ishlah pada
beberapa kelompok yang sempat bertikai dengan khalifah sebelumnya.
Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, beliau berhasil
menjalin hubuingan baik dengan kelompok Syi’ah dan Khawarij yang pada
saat itu telah memulai langkah untuk menjadi sebuah faksi teologis di
Bani Umayyah.. Posisi beliau sebagai gubernur Hijaz memudahkan
rekonsiliasi dengan penduduk Mekkah dan Madinah, ditambah dengan figure
keulamaan dan kezuhudan yang melekat dalam kepribadian beliau. Selain
itu Kedudukan mawali (orang Islam yang bukan dari Arab) disejajarkan
dengan Muslim Arab dan keadilan atas semua golongan yang berada di bawah
naungan Islam dijamin asal adanya jaminan sosial dengan jizyah dan
zakat yang dibayarkan secara teratur.
Beliau meninggal pada tahun 720 M dalam usia 39 tahun dengan meninggalkan keteladanan dan keadilan bagi segenap umat Islam.
i.Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M)
Periode ini merupakan awal dari kemunduran Bani Umayyah. Khalifah
Yazid III tidak dapat melanjutkan keteladanan yang dipraktikkan oleh
Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Bibit-bibit disintegrasi mulai muncul
dengan pertentangan-pertentangan pada faksi-faksi politik dan etnis yang
ada pada masa itu.
Masa pemerintahannya berlangsung selama 4 tahun, 1 bulan dan beliau wafat pada usia 40 tahun.
j.Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)
Hisyam ibn Abdul Malik menjabat sebagai Khalifah pada usia yang ke 35
tahun. Beliau terkenal negarawan yang cakap dan ahli strategi militer.
Pada masa pemerintahannya muncul satu kekuatan baru yang menjadi
tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan ini berasal
dari kalangan Bani Hasyim, keturunan dari Abbas bin Abdul Muttalib dari
Mekkah yang didukung oleh golongan Mawali dan Ajam serta menjadi sebuah
ancaman yang sangat serius.
Dalam perkembangan selanjutnya,kekuatan baru ini mampu mengonsolidasi
diri untuk kemudian menggulingkan Dinasti Umayyah dan menggantikannya
dengan Dinasti baru, Bani Abbasiyah.
Pemerintahan Hisyam yang lunak dan jujur menyumbangkan jasa yang
banyak untuk pemulihan keamanan dan kemakmuran. Namun, karena gerakan
oposisi terlalu kuat, Khalifah tidak memiliki kekuatan yang cukup kuat
untuk mematahkannya. Gerakan Abbasiyah –kekuatan oposisi
tersebut—kemudian menjadi kekuatan laten yang mengancam eksistensi
pemerintahan. Namun, mereka tidak melakukan show of force pada masa
pemerintahan Khalifah Hisyam.
Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam kebudayaan
dan kesusastraan Arab serta lalu lintas dagang mengalami kemajuan.
Hubungan perdagangan dengan Eropa dibuka. Wilayah Eropa juga berhasil
ditaklukkan, sampai ke pegunungan Pyrennia dan mencapai perbatasan
Perancis. Pasukan umat Islam di bawah pimpinan Abdurrahman Al-Ghafiqi
dari Cordoba, ibukota kekhalifahan Islam di Spanyol berhasil mencapai
pegunungan Pyrennia dan bergerak ke selatan, menuju Sisilia.
Namun, pasukan Islam terhenti di Tours, sebelah Selatan Bordeaux.
Pada pertempuran di Tours yang legendaris (bahkan di kalangan
non-muslim), pasukan Islam dikalahkan oleh Charles Martel, pemimpin
Perancis yang pada waktu itu menguasai wilayah Perancis sekarang
sehingga kekuatan Islam terhalang untuk menyebarkan pengaruh ke sebelah
barat. Kendati demikian, Sisilia dan Italia selatan berhasil dikuasai.
Pada era khalifah Utsmaniyah, pasukan Islam bahkan dapat menguasai
wilayah Balkan sampai Kossovo dan mencapai perbatasan Yunani-Italia.
Dua tahun sesudah penaklukan pulau Sisilia pada tahun 743 M, ia wafat
dalam usia 55 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 19 tahun, 9
bulan.
k.Walid ibn Yazid (743-744 M)
Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran dimasa pemerintahan Walid ibn
Yazid. Meskipun demikian, kebijakan yang paling utama yang dilakukan
oleh Khalifah Walid ibn Yazid ialah melipatkan jumlah bantuan sosial
bagi pemeliharaan orang-orang buta dan orang-orang lanjut usia yang
tidak mempunyai famili untuk merawatnya. Beliau menetapkan anggaran
khusus untuk pembiayaan tersebut dan menyediakan perawat untuk
masing-masing orang.
Masa pemerintahan Khalifah Walid bin Yazid berlangsung selama 1 tahun, 2 bulan. Dia wafat dalam usia 40 tahun.
l.Yazid ibn Walid (Yazid III) (744 M)
Masa pemerintahann Khalifah Yazid III penuh dengan kemelut dan
pemberontakan. Masa pemerintahannya berlangsung selama 16 bulan. Tidak
banyak literatur yang menggambarkan situasi politik dan pemerintahan
ketika beliau memerintah. Beliau wafat dalam usia 46 tahun.
m.Ibrahim ibn Malik (744 M)
Diangkatnya Ibrahim menjadi Khalifah tidak memperoleh legitimasi
politik yang cukup di lingkungan keluarga Bani Umayyah dan rakyatnya.
Karena itu, keadaan negara semakin kacau dengan munculnya beberapa
pemberontak.
Di sisi lain, kekuatan gerakan Abbasiyah yang diorganisasi oleh Abul
Abbas As-Saffah juga semakin terkonsolidasi. Klimaksnya, beliau
menggerakkan pasukan besar berkekuatan 80.000 orang dari Arnenia menuju
Syiria. Atas tekanan yang dihadapi, beliau dengan suka rela mengundurkan
dirinya dari jabatan khilafah dan mengangkat baiat terhadap Marwan ibn
Muhammad. Khalifah Ibrahim memerintah selama 3 bulan dan wafat pada
tahun 132 H.
n.Marwan ibn Muhammad (745-750 M)
Beliau seorang ahli negara yang bijaksana dan seorang pahlawan. Pada
awalnya, beliau adalah seorang gubernur di salah satu wilayah yang
dikuasai oleh Bani Umayyah. Delegitimasi politik yang dialami oleh
Khalifah Ibrahim serta keadaan yang sudah cukup mengkhawatirkan
menyebabkan beliau akhirnya dibai’at sebagai khalifah.
Pemberontak dapat ditumpas oleh beliau, tetapi ternyata Khalifah
Marwan tidak mampu mengahadapi gerakan Bani Abbasiyah yang telah kuat
pendukungnya. Gerakan Abbasiyah kemudian mengonsolidasi diri dan mulai
melancarkan serangkaian serangan ke Damaskus yang telah lemah. Marwan
ibn Muhammad akhirnya berhasil dikudeta oleh kelompok Abbasiyah.
Beliau melarikan diri ke Hurah, terus ke Damaskus dan akhirnya sampai
ke Mesir. Khalifah Marwan terbunuh pada tanggal 27 Dzulhijjah 132 H\5
Agustus 750 M. Dengan kudeta ini, berakhirlah kedaulatan Bani Umayyah
dan terjadi transformasi kepemimpinan ke Bani Hasyim yang dipimpin oleh
Abul Abbas As-Saffah, keturunan dari Abbas bin Abdul Muttalib, paman
Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi Was Salam.
C.Konstruksi Negara Bani Umayyah
1.Konstruksi Kekuasaan
Sistem ketatanegaraan yang dibangun oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin
Harb sebagai khalifah adalah sistem pemerintahan monarki atau kerajaan.
Pergantian kepemimpinan dilakukan dengan pewarisan ke putera mahkota
(dari ayah ke anak atau saudara) dan dilakukan dengan mekanisme
penunjukan, bukan lagiSyuro. Khalifah lebih berfungsi sebagai Raja,
berbeda dengan Khalifah di era Khulafaur-Rasyidin. Sistem monarki yang
terbangun juga menempatkan Bani Umayyah sebagai kaum bangsawan dan
lingkaran kekuasaan.
Hal ini berbeda dengan paradigma kekuasaan pada era sebelumnya yang
menempatkan Khalifah sebagai pemegang amanah umat. Sehingga, seorang
Khalifah pada saat itu merupakan sebuah konsensus dari umat Islam yang
dipilih dengan mekanisme yang syar’i. Seorang Khalifah ketika era
Khulafaur Rasyidin menempatkan kesederhanaan dan kezuhudan sebagai
bagian tak terpisahkan dari seorang Khalifah. Ketika Muawiyah menjadi
khalifah, paradigma ini secara otomatis berubah.
Implikasi pertama yang menyertai konstruksi monarki ini adalah
berubahnya pola kekuasaan. Otoritas tertinggi ada pada khalifah,
sehingga pada waktu itu seorang khalifah harus ditaati perintahnya. Hal
ini berbeda dengan kondisi di era Khulafaur Rasyidin, ketika ternyata
sanggahan seorang ibu kepada Khalifah Umar berkaitan dengan kebijakan
dan anjuran untuk menurunkan mahar nikah dari para pemuda berhasil
membuat Khalifah Umar merevisi kebijakannya. Ketika itu, Al-Qur’an dan
perintah Rasulullah menjadi sumber kebijakan yang paling utama.
Implikasi kedua adalah sentralisasi dan absolutisme kekuasaan yang
begitu kental. Peran seorang khalifah dalam menentukan kebijakan sangat
besar. Gubernur tidak diperkenankan membuat kebijakan sendiri –terutama
ketika periode transisi—dan peran Khalifah dalam pembuatan keputusan
sangat dominan (Ralliby, 1963: 220)11. Dampak positif dari kekuasaan
yang sangat sentralistik ini adalah ketepatan strategi dalam mengatasi
pemberontakan, tetapi hal ini juga berdampak negatif pada kemunculan
kelompok-kelompok penekan dan potensi ketidakadilan yang sangat tampak.
Implikasi ketiga adalah berkurangnya peran ulama dari lingkaran
kekuasaan. Kecuali pada era Umar bin Abdul Aziz, peran ulama tidak
sesentral era Khulafaur Rasyidin sehingga kecenderungan pemerintahan di
Bani Umayyah ini tidak memasukkan ulama. Para ulama menjauh dari
lingkaran elit istana; mereka hanya memberi fatwa dan nasehat di
kalangan masyarakat. Kendati demikian, pemerintah terkadang meminta
fatwa kepada para ulama berkaitan dengan sebuah permasalahan tertentu
tanpa ada implikasi-implikasi lain.
Implikasi keempat adalah kekuasaan ada pada sekeliling istana saja.
Kelompok dari luar Bani Umayyah tidak memiliki akses pada pemutus
kebijakan sehingga menimbulkan beberapa gejolak. Sistem monarki tidak
memungkinkan adanya orang dari kelompok lain memegang tampuk kekuasaan,
sehingga muncul gerakan-gerakan yang ingin merebut kekuasaan, seperti
Abdullah bin Zubair dan Abul Abbas As-Saffah. Implikasi inilah yang
menyebabkan runtuhnya Dinasti Umayyah.
2.Konstruksi Oposisi dan Kelompok Penekan
Dalam literatur ilmu politik, kita mengenal kelompok penekan atau
oposisi dan kelompok berkuasa atau Status-Quo. Kelompok penekan ini
muncul sebagai respons atas hegemoni yang ada, dan dominasi yang
dilakukan oleh kelompok berkuasa. Kelompok penekan dapat berbentuk
gerakan politik ekstrakekuasaan (aktivitas massa), pemberontakan
(insurgency), gerakan separatis, atau faksi politik yang secara laten
mengembangkan kekuatan dan melancarkan kritik terbatas pada kelompok
Status-Quo.
Seperti dijelaskan di atas, sistem pemerintahan Bani Umayyah yang
monarki, konstruksi oposisi secara otomatis terbangun dengan gerakan
politik ekstrakekuasaan dan pemberontakan. Dalam konteks sejarah Bani
Umayyah, pemberontakan banyak yang dapat dipadamkan oleh Khalifah. Akan
tetapi, ada dua gerakan yang menarik untuk diulas dalam hal ini, yaitu
gerakan yang dibangun oleh Abdullah bin Zubeir bin Awwam di Hijaz dan
gerakan yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah di Kufah. Kedua gerakan
ini eksis dalam rentang waktu yang cukup lama dan memiliki legitimasi
dari kelompok dan daerah masing-masing.
Pertama, gerakan Abdullah bin Zubeir. Gerakan ini merupakan stimulasi
kekecewaan warga di daerah jazirah Arab (Hijaz dan sekitarnya) atas
kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan dan khalifah di bawahnya. Gerakan
in mengakar pada kekecewaan atas sikap Muawiyah yang secara taktis
merebut kekuasaan atas Ali dengan perundingan yang dianggap tidak fair
(peristiwa tahkim). Pascapembantaian Karbala yang melahirkan Syiah
sebagai faksi teologis tersendiri, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin
Zubeir sebagai Khalifah dan mulai mengonsolidasi diri.
Kekuatan oposisi terbangun. Abdullah bin Zubeir yang mendapat
legitimasi politik dari orang-orang Mekkah dan Madinah mulai membangun
pertahanan di Mekkah. Kedekatan Abdullah bin Zubeir dengan kaum ulama
semakin memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin oposisi, ditambah
dengan melemahnya kekuatan Damaskus sepeninggal Muawiyah. Konstruksi
gerakan oposisi ini merupakan respons atas terbunuhnya Husein bin Ali
dan hilangnya hak politik Hasan bin Ali oleh Damaskus. Disparitas
kekuasaan yang begitu mencolok juga menjadi sebuah alasan bagi
terbentuknya gerakan oposisi tersebut pada waktu itu.
Namun, ternyata rekonsolidasi kekuatan Bani Umayyah di era
kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan berhasil mengalahkan
kekuatan oposisi yang telah terbangun tersebut. Di sini, menarik untuk
dicermati bahwa pemerintahan yang kuat dapat melemahkan gerakan oposisi.
Apalagi dengan tampilnya Abdul Malik bin Marwan dengan panglima Hajjaj
bin Yusuf Ats-Tsaqafi sebagai pemimpin perang yang ahli dalam strategi,
Bani Umayyah menjadi semakin kuat dan tangguh.
Fenomena berbeda justru terjadi pada kekuatan oposisi yang dibangun
oleh Abul Abbas As-Saffah. Mereka memanfaatkan disparitas dan
ketidakadilan yang dialami oleh kelompok mawalli (non-Arab) yang merasa
dinomorduakan pada kepemimpinan Bani Umayyah, kecuali era Umar bin Abdul
Aziz. Gerakan Abbasiyah juga memainkan peran yang penting dalam proses
pembentukan gerakan dengan aksi-aksi yang laten namun mengancam
eksistensi pemerintahan. Isu-isu yang dibawa oleh gerakan, didukung oleh
kekuatan eksternal dari orang-orang mawalli, efektif sebagai gerakan
oposisi yang mengancam kekuasaan.
Di sini, sekali lagi struktur pemerintahan menjadi sebuah parameter
keberhasilan. Pasca-era Hisyam bin Abdul Malik, pemerintahan Bani
Umayyah telah menjadi pemerintahan yang lemah (weak government).
Lemahnya pemerintahan, hilangnya figur Khalifah yang strategis, serta
efektivitas gerakan telah menguatkan posisi gerakan Abbasiyah. Hingga
akhirnya kelompok ini bertransformasi menjadi gerakan politik total yang
berhasil merebut kekuasaan pada tahun 750 M.
Dari dua gerakan tersebut, kita patut mencermati dua fenomena.
Pertama, struktur pemerintahan yang lemah dan kuat menentukan
efektivitas dari gerakan oposisi atau kelompok penekan tersebut. Ketika
figur Khalifah yang memimpin Daulah bukan figur yang baik secara
manajerial, kelompok penekan menjadi begitu kuat dan berhasil mengancam
kekuasaan. Akan tetapi, pemerintahan yang kuat dan dibantu kekuatan
militer yang berada di bawah kekuasaan pemerintah dapat memperlemah
kekuatan oposisi. Di sini, kuat atau lemahnya struktur pemerintahan
berpengaruh besar.
Kedua, gerakan oposisi memerlukan legitimasi politik. Dua gerakan di
atas dapat bertahan lama dan menjadi ancaman besar karena mereka
memiliki legitimasi politik dari kelompok pendukung. Gerakan Abdullah
bin Zubeir mendapat legitimasi dari orang-orang Hijaz, sedangkan Gerakan
Abul Abbas As-Saffah mendapat legitimasi politik dari orang-orang
Mawalli dan Bani Abbas di Mekkah. Legitimasi menjadi sebuah tolak ukur
keberhasilan sebuah gerakan, karena pemerintah juga memerlukan
legitimasi untuk menanamkan pengaruh dan kekuasaannya.
3.Konstruksi Politik Luar Negeri
Dari awal era Khulafaur-Rasyidin, konstruksi politik luar negeri
didasarkan atas upaya untuk dakwah dan menyebarkan Islam secara
ekspansif dengan kekuatan yang dimiliki. Begitu pula dengan orientasi
dan dasar politik luar negeri Bani Umayyah. Spirit dakwah dan penyebaran
Islam melalui jalur kekuasaan menjadi sebuah hal yang tak terelakkan
dalam politik luar negeri Bani Umayyah.
Secara geopolitik, posisi Arab pada era Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Was Salam terletak di antara dua buah kekaisaran yang saling
memperebutkan pengaruh: Persia dan Romawi. Pergumulan kedua kekaisaran
ini diabadikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al-Qur’an Surah
Ar-Rum. Dengan posisi ini, Arab sebenarnya sangat rawan terhadap
penetrasi atau aneksasi dari kedua kekaisaran yang begitu kuat.
Namun, kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab yang kuat berhasil
menaklukkan Persia. Khalifah Umar juga mengirim pasukan ke Mesir dan
Palestina serta mendesak kedudukan Romawi di dua tempat tersebut.
Bargaining position umat Islam mulai muncul dan berlangsung sampai era
awal Bani Umayyah.
Khalifah Muawiyah melanjutkan penyebaran dakwah ke wilayah lain. Kali
ini, wilayah Asia Kecil seperti Balkh, Bukhara, Samarkand, atau
Khawarizm di Iran Utara berhasil dikuasai. Wilayah Afrika Utara dari
Maroko sampai ke Tunisia dan Sahara Barat juga dapat menerima dakwah
Islam. Prestasi ini bahkan berlanjut sampai ke Eropa dan India di era
Walid bin Abdul Malik. Sehingga, secara territorial wilayah umat Islam
terbentang dari Pegunungan Pyrennia di Spanyol sampai ke Delhi di India.
Perluasan wilayah ini merupakan salah satu parameter keberhasilan
dari politik luar negeri yang dibangun oleh umat Islam pada era Bani
Umayyah tersebut. Dengan adanya batas territorial baru tersebut,
hubungan antara umat Islam dengan bangsa lain di luar Timur Tengah juga
menjadi semakin intensif dan hubungan perdagangan pun dibuka dengan
bangsa lain. Ketika itu, Damaskus telah bertransformasi menjadi pusat
peradaban yang menampilkan Islam sebagai sebuah peradaban.
Selain itu, umat Islam juga telah menjadi kekuatan politik
internasional baru yang mewarnai dunia. Bani Umayyah yang secara
gemilang melakukan penyebaran dakwah menjadikan Islam tidak hanya
menjadi milik bangsa Arab, tetapi telah menjadi sebuah agama yang dianut
oleh bangsa lain. Terjadi universalisasi peradaban Islam yang sejalan
dengan konsep Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (Ridha, 2004: 85)12.
Bertambah luasnya territorial umat Islam ini juga berdampak pada
struktur birokrasi pemerintahan pada Bani Umayyah. Sebagai implikasi
munculnya daerah baru, pada saat itu muncul gubernur-gubernur yang
memerintah daerah baru tersebut sebagai wakil dari pemerintah pusat.
Adanya gubernur yang menjadi wakil administratif tersebut kemudian
menambah pemasukan di Baitul Mal berupa jizyah dari orang non-muslim
yang berada di wilayah kekuasaan umat Islam.
Selain itu, bertambah luasnya teritori umat Islam tersebut juga
memiliki implikasi bagi stratifikasi sosial baru di kalangan umat Islam.
Muncul kemudian kelompok Arab dan Mawalli (muslim non-Arab) yang
menempati strata sosial berbeda di masyarakat. Kelompok mawalli merasa
dinomorduakan dan kemudian menjalin hubungan dengan Bani Hasyim untuk
kemudian membentuk gerakan oposisi. Stratifikasi sosial ini juga tak
lepas dari kebijakan politik Bani Umayyah yang tidak ingin kekuasaannya
terancam.
D.Mengurai Konsepsi Daulah: Simpulan Analisis
Dari analisis di atas, kami dapat mengambil kesimpulan bahwa :
1.Sejarah dinasti Umayyah tak dapat dilepaskan dari peristiwa
sebelumnya, yaitu konflik horizontal antara faksi Muawiyah dan Ali
sebagai Khalifah pada waktu itu. Momentum perseteruan terjadi pada
Perang Shiffin, ketika pasukan dua golongan bertemu. Perang ini diakhiri
dengan peristiwa Tahkim yang menandai pembagian kekuasaan antara
Muawiyah dan Ali, hingga terbunuhnya Ali.
2.Dinasti Umayyah yang terbentang mulai tahun 661 M – 750 M telah
mengalami dinamika dan pasang-surut kepemimpinan. Faktor Khalifah atau
aktor yang menjadi pemutus kebijakan tertinggi menjadi sangat penting
bagi kekuatan Dinasti. Ketika Khalifah yang berkuasa kuat, kedaulatan
Bani Umayyah pun juga menjadi kuat. Begitu pula sebaliknya ketika
Khalifah yang berkuasa lemah, kedaulatan pun juga terancam. Faktor aktor
sejarah menjadi hal yang begitu dominan pada era ini
3.Bani Umayyah telah membangun konstruksi politik yang sedemikian
besar ketika berkuasa. Konstruksi kekuasaan dibangun dengan mekanisme
kerajaan atau monarki, sehingga berimplikasi pada bergesernya pola
orientasi kekuasaan, sentralisme kekuasaan pada Khalifah yang berdampak
pada absolutisasi kebijakan Khalifah, berkurangnya peran ulama dalam
pembuatan keputusan, serta munculnya lingkaran elit yang berbasis istana
dengan dominasi kelompok-kelompok di sekeliling Khalifah.
4.Konstruksi Oposisi terbentuk dengan adanya ketidakpuasan atas
Khalifah dengan dua aktor utama: Abdullah bin Zubair dan Abul Abbas
As-Saffah. Gerakan Abdullah bin Zubair dapat dihancurkan dengan kekuatan
Khalifah yang begitu kuat, sementara Abul Abbas As-Saffah tak dapat
dikalahkan dengan mudah dan akhirnya berhasil merebut kekuasaan.
5.Konstruksi politik luar negeri dibangun dengan dasar penyebaran
Islam melalui penaklukkan-penaklukkan. Umat Islam berhasil mengembangkan
territorial kekuasaan mereka hingga Spanyol di ujung barat dan India di
ujung selatan. Dengan demikian, kekuatan politik luar negeri dibangun
atas kolaborasi hard dan soft power yang terbangun atas relasi yang saling mendukung.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Anshor Wathony. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar